Kamis, 21 Februari 2013

Pengakuan Ulama' Besar Tentang Tasawwuf

Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 CE)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak
karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun
saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan
ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui
jalan yang benar”.
Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen
said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim
an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati
dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang
mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa
(r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata sebelum
meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak
karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah
dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq
Imam Malik (94-179 H./716-795 CE)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah
faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad
fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq.
(Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh
maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari
fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang
mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).”
(dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam
Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195
Imam Shafi’i (150-205 H./767-820 CE)
Imam Shafi’i: “Saya bersama orang sufi dan aku
menerima 3 ilmu:
1. mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. mereka mengajariku bagaimana meperlakukanorang
dengan kasih dan hati lembut
3. mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol.
1, p. 341.]
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 CE)
Imam Ahmad (r): “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati
ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna
bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata
waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus
duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah
mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam
hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka
memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir
al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi). Imam Ahmad
(r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih
baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)
Imam al-Muhasibi (d. 243 H./857 CE)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan
menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih
mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasawwuf.
Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya
p. 27-32.
Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 CE)
Imam al-Qushayri tentang Tasawwuf: “Allah membuat
golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia
mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya
sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati
mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih
mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya.
Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan
diri dari segala hubungan dengan dunia dan
Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam
penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka
Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk
melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia
membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan
menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .”
[ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]
Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 CE)
Imam Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasawwuf:
“Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para
pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukanyang
terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan
akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkanhati
mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka
sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran
Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].
Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 CE)
Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
1. menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai
dan sendiri
2. mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
3. menghindari ketergantungan kepada orang lain
4. bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
5. selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid
at-Tawhid, p. 20]
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: “Jalan para sufi adalah
mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari
kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu
sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat
Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .”
[Ictiqadat Furaq al-Musliman, p. 72, 73]
Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 CE)
Ibn Khaldun: “Jalan sufi adalah jalan salaf,
ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’
at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan
meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia”
[Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]
Tajuddin as-Subki
Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga
Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka
dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga.
Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan
terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan
hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang
benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan
menyibukkan diri dengan ibadah”. Dia berkata: “Mereka
dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa
dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah
membantu manusia.
Jalaluddin as-Suyuti
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-’Aliyya, p. 57: “tasawwuf
dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan
terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah
Nabi dan meninggalkan bid’ah”
Ibn Taymiyya (661-728 H./1263-1328 CE)
Majmaca Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo,
Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: “Kamu harus tahu
bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai
petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka
mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para
syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran
Allah dan ketaatan kepada Nabi.”
Juga dalam hal 499: “Para syaikh dimana kita perlu
mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan
kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam
Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai
Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal)
menuju Allah dan Nabi kita.
Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim
ibn Adham, Ma’ruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia
al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir
Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa’i, and Shaikh Bayazid al-
Bistami. Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada
510, Volume 10: “…Syaikh besar, Bayazid al-Bistami,
dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan
dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:” Ya Allah,
bagaimana jalan menuju Engkau?”. Dan Allah menjawab:
“Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku”.
Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami,
” Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar
dari kulitnya”. Implisit dari kutipan ini adalah
sebuah indikasi tentang perlunya zuhd
(pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap
kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid
al-Bistami ( Mursyid Tariqah Naqshbandi).
Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah
menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta
orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan
cara menaati Allah dan Rasul saas.
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah Tasawwuf :
Berikut adalah pendapat Ibn Tamiah tentang definisi
Tasawwuf dari strained, Whether you are gold or
gold-plated copper.” Sanai. Following is what Ibn
Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from
Volume 11, At-Tasawwuf, of Majmu’a Fatawa Ibn
Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo:
“Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah
didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang
diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang
ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan).” “Tasawwufadalah
ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman.
Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala
sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang
yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran
di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya.
Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan
meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk
meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia
terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana
disebutkan Allah: “Dan barangsiapa yang menta’ati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati
syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)” Dia melanjutkan
mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaatiAllah..
Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka
merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena
usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan
kanan (ashabus-syimal).”
Imam Ibn Qayyim (d. 751 H./1350 CE)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, “Kita menyasikan
kebesaran orang-orang tasawwuf dalam pandangan salaf
bagaimana yang telah disebut oleh by Sufyan ath-Thawri
(d. 161 H./777 CE). Salah satu imam terbesar abad
kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata:
“Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733
CE) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang
kecil (riya’) dalam diri (Manazil as-Sa’ireen). Lanjut
Ibn Qayyim:”Diantara orang terbaik adalah Sufi yang
mempelajari fiqh”
‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1115-1201
H./1703-1787 CE)
Dari Muhammad Man ar Nu’mani’s book (p. 85), Ad- ia’at
al-Mukaththafa Didd ash-Shaikh Mu ammad ibn ‘Abdul
Wahhab: “Shaikh ‘Abdullah, anak shaikh Muhammad ibn
‘Abdul Wahhab, mengatakan mengenai Tasawwuf: ‘Anakku
dan saya tidak pernah menolak atau mengkritik ilmu
tasawwuf, tetapi sebaliknya kami mendukungnya karena
ia menyucikan baik lahir maupun batin dari dosa
tersembunyi yang berhubungan dengan hati dan bentuk
batin. Meskipun seseorang mungkin secara lahir benar,
secara batin mungkin salah; dan untuk memperbaikinya
tasauf diperlukan.”
Dalam volume 5 dari Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab
entitled ar-Rasa’il ash-Shakhsiyya, hal 11, serta hal.
12, 61, and 64 dia menyatakan: “Saya tidak pernah
menuduh kafir Ibn ‘Arabi atau Ibn al-Fari karena
interpretasi sufinya”
Ibn ‘Abidin
Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin
(p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini
tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka
tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingatDia
mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka
bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika
mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka
berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut.
Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati
mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].
Shaikh Rashad Rida
Dia berkata,”tasawwuf adalah salah satu pilar dari
pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan
diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari
dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang
tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the
Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries.
Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini
memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan
Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabidan
dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap
ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang
orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh
kepada Allah”
“Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil
inisiasi (baiat) ke dalam Tasawuf”
“Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan
dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuham merka
dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”
Abul ‘Ala Mawdudi
Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasawwuf adalah
kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan
Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka
karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan
dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul”.
“Tasawwuf mencari ketulusan hati, menyucikanniat dan
kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”
Ringkasnya, tasawwuf, dahulu maupun sekarang,adalah
sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam,
memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan
meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu
manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan
demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat
meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan
mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari
godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih
mengetahui niat hamba-hamba-Nya.

=>

Senin, 18 Februari 2013

Dakwah Syubhat Salafy/Wahabi

DAKWAH SYUBHAT KAUM WAHABI

Oleh : Ahmad Yahya IV

بسم الله الرمن الرحيم : الحمد لله المنزه عن الجهات المتعالى عن جميع أوصاف الحادثات الموصوف بما وصف به نفسه المقدسة في كتابه وعلى لسان نبيه صلى الله عليه وسلم من الفوقية والعلوية والإستواء على العرش كما أراد وكما يليق به من الكمالات , من دون اعتقاد جهة ولا تأويلات وبالوجه واليد والأيدي , والعين والأعين , والنزول والهرولة والمجيئ , على ما أراد سبحانه من دون تشبيه ولا تمثيل ولا تعطيل . اما بعد :ا


Merupakan virus yang perlu kita bendung apabila terjadi pengkafiran besar-besaran hanya perbeda’an pendapat dalam hal furu’iyah yang tidak ada sangkut pautnya dalam hal aqidah, hal ini tak jarang kita jumpai dalam komunitas muslim, tanpa mereka sadari meninggalkan bekas luka yang sangat dalam pada tubuh umat yang sudah tercabik-cabik oleh perpecahan ini, serta menabur api dalam sekam, fitnah perpecahan ini di hembuskan oleh faham-faham wahabi yang meng-adopsi faham hasyawiah mujassimah, memahami ayat-ayat al-qur’an secara textual serta menafikan takwil dalam ayat-ayat mutasyabihat, dengan mudah dan fasih mulut mereka mengeluarkan kalimat kafir, musyrik, sesat, ahli syubhat, penyembah kubur, dan lain sebagainya tanpa melihat dan memahami dalil yang ada, mereka berkedok meluruskan kemurnian tauhid, padahal kalau mereka mau membuka mata lebar-lebar dan melihat realita yang ada, tidak ada umat muslim manapun yang tidak beraqidah tauhid, ini sudah jelas dan terang, seterang matahari di siang bolong , ulama’ salaf maupun khalaf tegas mengatakan : setiap umat Muhammad yang berada di bawah kalimat “LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMDURRASULULLAH” adalah umat yang beraqidah tauhid apabila mereka mati dalam ke’ada’an seperti ini ( imani kalimat tauhid ) maka akan masuk syurga walau mereka sebagai pelaku dosa besar, tauhid mana yang perlu di luruskan?? ketahuilah … jika kalian gembar-gemborkan kemurnian tauhid, sama saja halnya kalian menganggap tauhid umat ini tidak murni dan bengkok. Jika tauhid sudah tidak murni dan bengkok maka artinya adalah kafir keluar dari agama,


Faham wahabi sangat keterlaluan, mereka mengatakan ahlu takwil adalah ahlu bid’ah dan ahlu syubhat, jelaskan kepada mereka ulama’ mana yang mereka ikuti? apakah mereka juga menvonis imam bukhari muhaddist terpercaya ahlu sunnah sebagai ahlu bid’ah dan ahlu syubhat??

Tanyakan lagi pada mereka..! apa pendapat mereka terhadap al-hafidz imam ibnu hajar al-tsqolani sebagai pengarang kitab fathul bari syarah hadist bukhori? apa kedua imam besar hadist ahlu sunnah ini adalah ahlu bid’ah dan ahlu syubhat?? jelaskan lagi kepada mereka kedua tokoh tinta emas muhaddist umat ini adalah ahlu takwil dengan penakwilan yang lurus dan benar yang tidak menyalahi ketentuan sunnah, sungguh celaka dan buta hati mereka telah menutupi kebenaran yang terang di siang bolong,

Penakwilan imam bukhori terhadap firman ALLAH :

كل شيئ هالك إلا وجهه : قال البخاري بعد هذه الأية : اي ملكه


Setiap sesuatu pasti binasa kecuali ALLAH ( al-qashash 88 )

Berkata imam bukhori setelah menyebutkan ayat ini : ialah mulkuhu, jelas kalimat wajhu dalam ayat di atas tidak di artikan sebagai wajah Allah, akan tetapi sebagai dzatullah ,

Namun orang-orang wahabi atau salafy mengkritisi penakwilan imam besar albukhori di atas dengan kalimat mereka,

(( هذا لايقوله مسلم مؤمن ))


Penakwilan ini tidak pernah di katakan seorang muslim yang mu’min”

Itu artinya mereka telah mengingkari perkata’an imam albukhori dan menganggapnya bukan sebagai seorang muslim yang mu’min sungguh suatu pengkaburan karya ilmiyah agar dapat mengkelabuhi masyarakat awam dengan slogan-slogan “bermanhaj salaf”

Tentang penakwilan imam bukhori ini sudah sangat jelas dan di kenal oleh kalangan ahli-ahli ilmu, karena jika kita melihat pada nashkah yang ada sekarang tidak ada kecuali termaktub penakwilan imam bukhori terhadap ayat mutasyabihat di atas, di samping itu. ini adalah konsep dalil penakwilan nushush yang sudah ada pada zaman salaf (zaman sahabat dan tabi’in) pendetailan pada pengertian makna,

Bagaimana mungkin mereka melontarkan tuduhan ahlu bid’ah dan ahlu syubhat terhadap imam besar hadist ini?? sudah jelas beliau adalah salah satu imam yang berada dalam penakwilan terhadap ayat mutasyabihat? ulama manapun mengakui tiada imam di masanya yang menandingi keilmuan hadis imam bukhori, sungguh orang-orang wahabi/salafy sangat memalukan, doktrin mereka ( “AHLU TAKWIL “adalah ahlu bid’ah dan ahlu syubhat) adalah doktrin fitnah yang di hembuskan untuk membuat umat ini menjadi marah,

Mereka tidak berhenti di situ saja, akan tetapi mereka telah berani mengeluarkan fatwa-fatwa sesat termasuk pengharaman dan pemusyrikan orang-orang bertawasul terhadap nabi Muhammad alaihis-sholatu wassalam, dan menjadikan istigotsah terhadap baginda nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam sebagai perbuatan musyrik yang mengeluarkan dari agama islam, mereka menganggap orang bertawasul sebagai penyembah kubur, subhanaka hadza buhtanun adzim, (maha suci engkau ini adalah kebohongan yang besar) dari sini kita dapat mengukur kedangkalan dan kepicikan akal mereka , menyamakan bertawasul dengan penyembah kubur adalah pemikiran orang-orang bodoh dan tolol,

Dalam konteks tawasul silahkan baca dalil-dalil ahlu sunnah waljama’ah tentang hakekat tawassul dalam posting kami yang lain yang telah kami jabarkan panjang lebar,

Habislah ulama’-ulama kita, tokoh-tokoh ulama’ yang di akui dan muktabarah tidak luput dari sasaran pensesatan dan di bid’ahkan oleh kelompok extrim ini, bahkan aqidah ahlu sunnah wal jama’ah sekaliber imam nawawi, imam izzuddin bin abdissalam, imam tajuddin assubki, al-hafidz imam ibnu hajar al-atsqolani, dan pada ujungnya imam syafi’i rodiallahu anhum. tidak lepas dari pensesatan dan di anggap ahlu bid’ah oleh mereka, lantaran ulama’ulama’ di atas itulah yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah,

Siapakah ulama’-ulama’ islam yang tidak di hukumi ahlu bid’ah ( sesat ) oleh wahabi ????

PESANKU TUNJUKKAN KESESATAN2 WAHABI INI, SEBARKAN AGAR TIDAK BANYAK ORANG MENJADI IKUT2AN SESAT DAN MUDAH MENYESATKAN, KAUM WAHABI KAUM DZOLIM, DAN INI SALAH SATU USAHAKU UNTUK MELAWAN KEDZOLIMAN DAN KEMUNGKARAN KAUM WAHABI. 
Salam Aswaja

Minggu, 17 Februari 2013

Bab I'rab ( Ngaji Yuk )



Dibaca pelan2 ya... kalok gk paham silahkan di tanyakan.

Kita mulai bab I'rab .?


بَابُ اَلْإِعْرَابِ

اَلْإِعْرَابُ هُوَ تغيير أَوَاخِرِ اَلْكَلِمِ لِاخْتِلَافِ اَلْعَوَامِلِ اَلدَّاخِلَةِ عَلَيْهَا لَفْظًا أَوْ تَقْدِيرًا.

وَأَقْسَامُهُ أَرْبَعَةٌ رَفْعٌ, وَنَصْبٌ, وَخَفْضٌ, وَجَزْمٌ, فَلِلْأَسْمَاءِ مِنْ ذَلِكَ اَلرَّفْعُ, وَالنَّصْبُ, وَالْخَفْض...ُ, وَلَا جَزْمَ فِيهَا, وَلِلْأَفْعَالِ مِنْ ذَلِكَ اَلرَّفْعُ, وَالنَّصْبُ, وَالْجَزْمُ, وَلَا خَفْضَ فيها.

بَابُ مَعْرِفَةِ عَلَامَاتِ اَلْإِعْرَابِ

لِلرَّفْعِ أَرْبَعُ عَلَامَاتٍ : الضمة ، والواو وَالْأَلِفُ, وَالنُّونُ

فَأَمَّا اَلضَّمَّةُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ فِي اَلِاسْمِ اَلْمُفْرَدِ, وَجَمْعِ اَلتَّكْسِيرِ, وَجَمْعِ اَلْمُؤَنَّثِ اَلسَّالِمِ,وَالْفِعْلِ اَلْمُضَارِعِ اَلَّذِي لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْءٌ

وَأَمَّا اَلْوَاوُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي مَوْضِعَيْنِ فِي جَمْعِ اَلْمُذَكَّرِ اَلسَّالِمِ, وَفِي اَلْأَسْمَاءِ اَلْخَمْسَةِ, وَهِيَ أَبُوكَ, وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَالٍ

وَأَمَّا اَلْأَلِفُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي تَثْنِيَةِ اَلْأَسْمَاءِ خَاصَّةً

وَأَمَّا اَلنُّونُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي اَلْفِعْلِ اَلْمُضَارِعِ, إِذَا اِتَّصَلَ بِهِ ضَمِيرُ تَثْنِيَةٍ, أَوْ ضَمِيرُ جَمْعٍ, أَوْ ضَمِيرُ اَلْمُؤَنَّثَةِ اَلْمُخَاطَبَةِ.

وَلِلنَّصْبِ خَمْسُ عَلَامَاتٍ: الْفَتْحَةُ، وَالْأَلِفُ، وَالْكَسْرَةُ، وَاليَاءُ، وَحَذْفُ النُّونِ.

فَأَمَّا الْفَتْحَةُ فَتَكُونُ عَلَامةً لِلنَّصْبِ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ، وَجَمْعِ التَّكْسِيرِ، وَالْفِعْلِ الْمُضَارِعِ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهِ نَاصِبٌ وَلَمْ يَتَّصِلْ بِآَخِرِهِ شَيْءٌ.

وَأَمَّا الْأَلِفُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ، نَحْوَ: "رَأَيْتُ أَبَاكَ وَأَخَاكَ" وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ.

وَأَمَّا الْكَسْرَةُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ.

وَأَمَّا الْيَاءُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصبِ فِي التَّثْنِيَةِ وَالْجَمْعِ.

وَأَمَّا حَذْفُ النُّونِ فَيَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي الْأَفْعَالِ الْخَمْسَةِ الْتِي رَفْعُهَا بِثَبَاتِ النُّونِ.

الْكَسْرَةُ، وَالْيَاءُ، وَالْفَتْحَةُ.

وَلِلْخَفْضِ ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ:

فَأَمَّا الْكَسْرَةُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ الْمُنْصَرِفِ، وَجَمْعِ التَّكْسِيرِ الْمُنْصَرِفِ، وَفِي جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ.

وَأَمَّا الْيَاءُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ، وَفِي التَّثْنِيَةِ، وَالْجَمْعِ.

وَأَمَّا الْفَتْحَةُ: فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِي الْاِسْمِ الَّذِي لَا يَنْصَرِفُ.

وَلِلْجَزْمِ عَلَامَتَانِ: السُّكُونُ، وَالْحَذْفُ.

فَأَمَّا السُّكُونُ فَيَكُونُ عَلَامَةً لِلْجَزْمِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الصَّحِيحِ الْآَخِرِ.

وَأَمَّا الْحَذْفُ فَيَكُونُ عَلَامَةً لِلْجَزْمِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الْمُعْتَلِّ الْآَخِرِ، وَفِي الْأَفْعَالِ الْخَمْسَةِ الْتِي رَفْعُهَا بِثَبَاتِ النُّونِ.

 

Bab Al I’rab
I’rab itu adalah berubahnya akhir-akhir kalimatkarena perbedaan amil-amil yang masuk atasnyabaik secara lafadz atau taqdir. Bagian i’rab itu ada empat, yaitu rafa’, nashab, khofadh atau jar, dan jazm.
Setiap isim itu bisa rafa’, nashab, khafad dan tidak bisa jazm
Setiap fi’il itu bisa rafa’, nashab, jazm, dan tidak bisa khofadh.
Bab Mengenal tanda-tanda I’rab
1. Bagi rafa’ itu ada empat tanda, yaitu dhammah, waw, alif dan Nun
Adapun Dhammah, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada empat tempat :
1. Pada Isim Mufrad,
2. Jama’ taktsir
3. Jama’ muannas salim, dan
4. fiil mudhari’ yang tidak bersambung di akhirnya dengan sesuatu
Adapun waw, maka ia menjadi tanda bagi rafa’pada dua tempat :
1. Pada jama’ mudzakkar salim, dan
2. Isim-isim yang lima yaitu



أَبُوكَ, وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَالٍ

Adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada isim-isim tatsniyyah yang tertentu
Adapun Nun maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada fi’il mudhari yang bersambung dengan dhamir tatsniyah, dhamir jama’, dan dhamir muannats mukhatabah.
2. Bagi Nashab itu ada lima tanda, yaitu Fathah, alif, kasrah, ya, dan hadzfunnuun (membuang nun).
Adapun fathah maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tiga tempat :
1. Pada Isim Mufrad
2. Jama’ taksir, dan
3. fi’il Mudhari apabila masuk atasnya amil yang menashobkan dan tidak bersambung di akhirnya dengan sesuatupun
adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada isim-isim yang lima contohnya :



رَأَيْتُ أَبَاكَ وَأَخَاكَ (aku melihat bapakmu dan saudaramu)dan apa-apa yang menyerupai contoh ini.

Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada jama’ muannats salim
Adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tatsniyah dan jama’
Adapun Hadzfunnuun, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada fi’il-fi’il yang lima yang ketika rafa’nya dengan tetap nun.
3. Bagi Khafadh atau jar itu ada 3 tanda, yaitu kasrah, ya, dan fathah.
Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
1. Isim Mufrad yang menerima tanwin
2. jama’ taksir yang menerima tanwin, dan
3. jama’ muannats salim
adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
1. Pada isim-isim yang lima
2. Isim Tatsniyah, dan
3. jama’
adapun fathah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada isim-isim yang tidak menerima tanwin.
4. Bagi jazm itu ada 2 tanda, yaitu sukun dan al hadzfu (membuang).
Adapun sukun, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il yang shahih akhirnya
Adapun al hadzfu, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il mudhari yang mu’tal akhirnya dan pada fi’il-fi’il yang ketika rafa’nya dengan tetap nun.
Fashl (pasal)
Yang di i'rab itu ada dua bagian : ada yang di i’rab dengan harkat (baris) dan ada yang di i’rab dengan huruf.
Maka yang di i’rab dengan baris itu ada empat macam :
1. Isim Mufrad
2. Jama’ taktsir
3. Jama’ muannats salim, dan
4. Fi’il Mudhari’ yang tidak bersambung dengan akhirnya sesuatupun
Dan semuanya itu (yang di i’rab dengan baris) di rafa’kan dengan dhammah, dinashabkan dengan fathah, dan dijazmkan dengan sukun. Dan keluar dari itu tiga hal; jama’ muannats salim dinashabkan dengan kasrah, isim yang tidak menerima tanwin dijarkan (dikhafadhkan) dengan fathah dan fi’il mudhari’ yang mu’tal akhirnya dijazmkan dengan membuang akhirnya
Yang dii’rab dengan huruf itu ada empat macam :
1. Isim Tatsniyah
2. Jama’ mudzakkar salim
3. isim-isim yang lima, dan
4. fi’il-fiil yang lima, yaitu يفعلان وتفعلان ويفعلون وتفعلون وتفعلين
 

adapun isim tatsniyah, maka ia dirafa’kan dengan alif, dinashabkan dengan ya dan dijarkandengan ya.
Adapun jama’ mudzakkar salim, maka ia dirafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan ya dan dijarkan dengan ya.
Adapun Isim-isim yang lima, maka di rafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan alif, dan dijarkan dengan ya.
Adapun fi’il-fi’il yang lima, maka dirafa’kandengan huruf nun, dan dinashabkan dan dijazamkan dengan membuang huruf nun..
. .
Semoga bermanfa'at

Sabtu, 16 Februari 2013

Hakikat Tawastul Atau Interaksi Ruhaniyah

 

Tawasul...

... Ketika sebagian kalangan mengartikan ‘mati’ dalam arti batas perpisahan antara dua alam, alam kehidupan (alam hayat) dan alam kematian (alam maut), yang satu hidup di dunia dan satunya mati dan kembali menjadi tanah, maka sejak saat itu berarti kedua alam tersebut dianggap tidak ada hubungan lagi. Berarti pula makhluk yang ada di dua alam tersebut tidak bisa saling memberikan kemanfaatan, tidak bisa saling berucap salam sehingga ucapan sholawat dan salam kepada baginda Nabi s.a.w dianggap sia-sia. Mendo’akan orang mati yang bukan orang tuanya dianggap batal dan tidak sampai. Tawasul dan ziarah kubur dianggap syirik, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang-orang yang ingkar akan hari kebangkitan ketika mereka melahirkan isi hati kepada Tuhannya. Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firmanNya:


وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ

“Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?”. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya”. (QS. as-Sajadah: 32/10)

Ayat di atas menyatakan, orang yang tidak percaya setelah mati ada kehidupan baru berarti mengingkari perjumpaan dengan Tuhannya. Sebagian dari gambaran ‘kehidupan baru’ tersebut dinyatakan Allah Ta’ala dalam sebuah ayat: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki(169)Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal(hidup) di belakang yang belum menyusul mereka”. (QS. Ali Imran/169-170) Orang yang mati di dunia, di alam barzah ternyata ada yang hidup. Mereka mendapat rizki dan bahkan bergirang hati terhadap orang yang masih belum mati. Yang dimaksud bergirang hati itu adalah saling memberi kegembiraan. Orang hidup dapat memberi kegembiraan kepada orang mati, demikian pula sebaliknya. (lihat tafsir Fahrur Rozi).

Sebagian teman se-agama mengira, setelah orang mati tidak ada lagi hubungan dengan orang hidup,… selesai dan bahkan orang mati itu tidak dapat dido’akan kecuali oleh anaknya sendiri. Sedangkan orang lain, sejak saat itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk saudaranya yang mati, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas kemanfaatan hidup. Orang tersebut memahami dari Hadits Nabi s.a.w yang artinya: “Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendo’akan kepadanya”. Barangkali karena mengartikan hadits ini dengan tujuan yang berlebihan, bahkan untuk melampiaskan kebencian kepada orang lain, maka mereka terjebak kepada pemahaman yang salah fatal.

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah s.a.w menyatakan “terputus amalnya” (In qotho’a ‘amaluhu) bukan “terputus kemanfaatannya” (In qotho’a Naf’’uhu). Seandainya Nabi s.a.w mengatakan terputus kemanfaatannya, maka benar, orang mati tidak ada hubungan lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan orang hidup tidak sampai kepada orang mati. Rasul s.a.w tidak mengatakan demikian, tetapi mengatakan “terputus amalnya”. Artinya, sejak itu orang mati itu tidak dapat beribadah lagi. Mereka tidak dapat mencari pahala sebagaimana saat masih hidup di dunia.(dipetik dari pengajian minggu ke 2 yang disampaikan oleh Hadrotusy Syekh Romo KH Ahmad Asrory al Ishaqy r.a)

Jika teman-teman itu mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya maksud hadits itu sebagai berikut; Dengan hadits itu justru Nabi s.a.w menganjurkan supaya orang hidup mau mendo’akan orang mati, karena sejak saat itu temannya itu sudah tidak dapat mencari pahala untuk dirinya sendiri, kecuali dari tiga hal tersebut, itu pun jika mereka memiliki ketiganya. Apabila tidak, maka hanya do’a-do’a dari temannya itulah yang sangat mereka butuhkan. Di alam kubur itu keadaan mereka seperti orang di penjara menunggu kiriman dari keluarganya. Seperti pasien yang mondok di rumah sakit merindukan temannya menjenguk.

Allah s.w.t memerintahkan agar seseorang mendo’akan orang lain dengan firman-Nya:


وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(QS. at-Taubah: 9/103)

Ayat di atas menyatakan bahwa mendo’akan orang lain, baik kepada orang hidup maupun orang mati pasti sampai, yaitu berupa ketenangan di dalam batin orang yang dido’akan itu. Bahkan sudah dimaklumi, termasuk syarat syahnya shalat Jum’at, khotib wajib memohon ampunan bagi saudaranya seiman, baik yang hidup maupun yang mati. Ini menunjukkan bahwa mendo’akan orang beriman yang sudah meninggal dunia itu merupakan perintah agama.

Bahkan di dalam firman-Nya Allah menyatakan bahwa pahala orang mati dapat berkurang dan bertambah. Berkurang karena perbuatan jeleknya diikuti orang lain, bertambah karena perbuatan baiknya diikuti orang lain serta dari do’a yang dipanjatkan orang lain kepadanya. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang sampai hari kiamat datang. Allah berfirman:


كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 3/185)

Hakekat tawasul atau interaksi ruhaniah adalah tercapainya sembung rasa antara ‘manusia personal’ dengan ‘manusia karakter’ yang dikondisikan dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah s.w.t. Yang dimaksud ‘manusia personal’ adalah manusia lahir sedangkan yang dimaksud ‘manusia karakter’ adalah manusia batin. “Manusia personal” diciptakan dari debu, berbentuk jasad kasar yang terdiri dari tulang dibungkus daging, masa hidupnya terbatas, yakni sebatas usianya di dunia. Ketika ajal kematiannya tiba, sedikitpun tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan. Setelah matinya, kembali menjadi tanah. Adapun “manusia karakter”, ia akan hidup untuk selama-lamanya. Sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam as. di alam ruh kemudian dimasukkan di dalam janin di dalam rahim seorang ibu lalu dilahirkan di dunia. ‘Manusia karakter’ dibentuk oleh lingkungannya menjadi orang mulia atau hina. Sejak hidupnya di alam ruh, ia akan hidup selama-lamanya.

Semasa hidupnya di dunia, manusia harus merubah karakternya menjadi lebih baik. Dengan ilmu dan amal, mereka harus membentuk karakter itu menjadi mulia. Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada’ atau ash-Sholihin sebagaimana yang telah digambarkan Allah s.w.t dengan firman-Nya; “Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada’ dan para Sholihin. Dan mereka itulah teman yang baik “. (QS. 4; Ayat 69)

Setelah matinya, manusia batin itu akan dihidupkan lagi, sejak di alam barzah sampai di akherat nanti. Manakala ia mati sebagai seorang Syuhada’ atau mati syahid, maka sejak di alam barzah akan hidup merdeka di kebun-kebun surga dan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan di alam akherat dimasukkan ke surga bahagia untuk selama-lamanya. Kalau ia mati sebagai orang kafir, maka kehidupannya akan tertahan di penjara untuk selama-lamanya.

Jadi yang dimaksud “Interaksi Ruhaniah” adalah pertemuan yang dilakukan oleh “manusia personal” dengan “manusia karakter”, pertemuan itu dirasakan secara ruhaniah. Atau dengan istilah hubungan timbal-balik atau interkoneksi antara dua orang yang berbeda dimensi, antara al-Mu’minun yang masih hidup dengan ash-shiddiq, asy-Syuhada dan ash-Sholihin yang sudah mati, pertemuan tersebut diaplikasikan dalam pelaksanaan ibadah dan mujahadah di jalan Allah. Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilakukan, karena ruh orang hidup memang berpotensi bertemu secara ruhaniah dengan ruh orang lain, baik orang hidup (di alam mimpi maupun di alam jaga) maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah). Allah menyatakan hal itu dengan firmanNya:


اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS.az-Zumar: 39/42)

Ketika jasmani manusia dan aktifitasnya sedang lemah karena sedang tidur, maka secara otomatis aktifitas Ruh menjadi kuat. Ruh orang tidur itu naik memasuki dimensi di atasnya, dengan izin Allah s.w.t kemudian menembus pembatas (hijab). Ruh itu menembus dua samudera yang dibatasi barzah sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firman-Nya: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu – antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. (QS: 55; 19-20).

Ruh orang tidur itu kemudian bertemu dengan ruh orang mati. Selanjutnya terjadilah kejadian sesuai kehendak Allah s.w.t. Kejadian tersebut kemudian direkam oleh akal, ketika orang tersebut bangun dari tidurnya, peristiwa ghaib itu terbaca lagi dalam alam sadar. Kejadian itulah yang disebut mimpi, hanya saja oleh karena peristiwa ghaib ini dialami dalam keadaan tidur, maka untuk memahaminya membutuhkan penta’wilan atau pemaknaan dari para ahlinya. Adapun seorang hamba yang ruhaninya telah hidup pada derajat tertentu (manusia karakter), ketika pengembaraan ruhaniah yang mereka lakukan telah melewati batas-batas yang telah ditentukan, dengan izin Allah s.w.t mereka dibukakan hijab-hijab yang menutupi rongga dadanya, sehingga matahatinya dapat merasakan secara langsung kejadian tersebut. Manakala pengkondisian tersebut dilakukan sebagai ibadah dan mujahadah di jalan Allah dengan melaksanakan tawasul kepada guru-guru ruhaniah yang sudah wafat, kemudian terjadi arus dzikir timbal balik antara orang yang tawasul dan yang ditawasuli, maka itulah yang dimaksud ‘Hakekat Tawasul atau ‘Interaksi Ruhaniah’.
Allahu A’lam bi ash-Shawab ....
...
Salam santun dari saya semoga bermanfaat
aminn